Oleh E. Fransiska
Tilem bagi masyarakat Bali dikenal sebagai bulan mati. Umat Hindu di Pulau Dewata biasanya menggelar ritual yang tata cara prosesinya hampir sama dengan ritual pada bulan purnama.
Namun, purnama dan tilem kali ini agak berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya karena dalam penanggalan masyarakat Bali saat ini adalah bulan kesepuluh (kadasa). Piodalan atau upacara memperingati purnama dan tilem pun relatif padat dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.
Masyarakat di Banjar Saren Kauh, Desa Saren, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, merayakan Tilem Kadasa dengan cara yang unik. Lampu jalan di dusun adat itu dipadamkan.
Suasana makin mencekam tatkala sejumlah pemuda saling beradu pandang di depan Pura Sega. Fisik mereka kokoh bagaikan benteng pertahanan. Tak sedikit pun ada perasaan gentar di antara kedua kubu pemuda tersebut.
Tanpa komando, salah satu pemuda tiba-tiba melempar serabut kelapa kering yang membara oleh api. Mirip bom molotov hanya jatuhan suaranya yang berbeda. "Buk....!!!" Segerombolan pemuda yang menjadi sasaran pelemparan secara reflek langsung membungkukkan badan. Namun, seorang pemuda terlambat bereaksi sehingga punggungnya terkena bara api.
Tidak cedera karena sepersekian detik berikutnya, dia membalasnya. Bara api itu pun juga mengenai salah satu sasaran. Aksi itu berlanjut menjadi ajang perang api yang cukup menyita perhatian masyarakat sekitar.
Sesekali terdengar ejekan penonton jika serangan balasan tidak mengenai sasaran. Meski aksi ini disaksikan banyak orang, tak satu dari penonton itu yang berusaha melerai perkelahian antarpemuda itu.
Pemuda yang terlibat peperangan sama sekali tak melengkapi diri dengan pelindung layaknya pertempuran di medan perang. Meskipun sakit dan pegal-pegal pada tubuh, Perang Api sama sekali tak menyisakan bara dendam di benak para pemuda itu.
Tanpa Rekayasa
Para pemuda Banjar Saren Kauh menggelar "Perang Api" sebagai ritual semata. "Kami memang sengaja tidak menyalakan lampu saat berlangsung Perang Api agar mereka tidak saling mengenali saat berperang," kata Kadek Susena, tokoh agama setempat.
Perang Api bagi masyarakat dusun adat setempat sudah menjadi tradisi. Para pendahulu dusun adat itu juga tidak tahu, tahun berapa ritual itu mulai dilangsungkan. Namun, mereka percaya bahwa ritual ini mapu mendatangkan kedamaian dalam masyarakat.
Susena yang menjadi pemangku atau pendeta di Pura Batur di Desa Adat Saren mengungkapkan bahwa ritual Perang Api atau "Ter-teran" selalu dilakukan saat bulan mati, pada rangkaian "Usabha Dalem" di Pura Sega.
Usabha Dalem diperingati setiap tahun. Sedangkan Ter-teran hanya menjadi rangkaian upacara satu kali dalam dua kali perayaan Usabha Dalem. Tidak heran jika warga Saren selalu menantikan perang itu. "Perang Api dilakukan selama tiga hari berturut-turut," kata Susena.
Dalam tiga hari, warga percaya terjadi proses pemadaman api kejahatan hingga memunculkan api-api kebaikan. Selama kurang lebih 60 menit perang berlangsung, warga, dan peserta perang seakan terhipnotis.
Perang yang biasanya menimbulkan permusuhan, benar-benar lenyap kala itu. Yang terdengar hanya gelak canda, layaknya anak kecil yang sedang bermain. Namun bukan bermain saling lempar api seperti ini.
Ketut Suta (24), salah satu peserta perang mengaku sangat menikmati tradisi tersebut. "Kalau ada, pasti saya ikut terus," ucapnya di sela-sela perang.
Nafasnya tersengal dan keringat pun bercucuran. Udeng yang menutupi kepalanya pun basah oleh peluh yang terus menetes hingga ke tubuhnya yang telanjang dada itu.
Mereka dengan bangga mempertontonkan bagian punggungnya yang menghitam bekas terbakar bara api. "Sakit sedikit akibat lemparan. Tapi tidak panas. Perih juga tidak," kata Suta.
Hal senada juga dilontarkan oleh Kadek Arsana (22). Sama seperti Suta, Arsana mengakun tidak merasakan perih oleh jilatan api. "Saya cuma merasa pegal karena timpukan saja. Kalau luka, tidak sama sekali," akunya.
Dia juga mengaku sudah terbiasa mengikuti tradisi ini sejak kecil. Bila tidak ada halangan, dia akan selalu ambil bagian di dalam tradisi yang sudah dilakukan turun-temurun oleh nenek moyang mereka di Saren itu.
Mereka mengaku tidak melakukan persiapan secara khusus. Mereka diharuskan memakai baju hitam atau berwarna gelap agar bekas bara api tidak begitu jelas. Namun, mereka memiliki kekebalan tubuh sebagaimana pengakuan Susena sebagai pemangku pura tersebut.
Selain di Banjar Saren Kauh, peperangan dalam menyambut Tilem Kadasa juga menjadi tradisi masyarakat Desa Adat Jasri. Perbedaanya, di Jasri menggunakan dahan pohon kelapa sebagai alat berperang.(M038/T007)
Adu Kebal Di Medan Perang Api
Minggu, 22 April 2012 11:27 WIB